Film ini diangkat dari sebuah novel karya
Sylvia Nassar dengan judul yang sama "Beautiful Mind". Sama-sama
nyeritain seorang anak manusia yang dikasih karunia kelebihan oleh tuhan. Anak
manusia itu sangat tampan, perawakan gagah, tegap, sangat jenius luar biasa,
dan dikasih istri cantik, seksi dan cerdas keturunan ningrat pula. Percecto!
Tentu antara tulisan di novel dan di film
terjadi perbedaan sedikit-sedikit, dan disini mazuqon.com akan coba kasih
komentar perbedaan novrl dan filmnya "Beatufil Mind".

Tapi secara umum film ini memang sangat menarik
untuk ditonton, sebab banyak sekali inspirasi yang bisa kita pelajari dari
orang yang memang telah berjasa dalam kehidupan kita secara gak langsung.
Jadi walaupun certa di filmnya tidak selengkap
dengan cerita di novelnya, maka kalau kamu masih penasaran dengan kisah hidup
John Nash, mending beli aja novelnya deh.
Dari film ini saya bisa menangkap dua karakter
penting. Yaitu karakter John Nash dan istrinya, Alicia.
John Forbes Nash Jr. seorang jenius yang
menghasilkan banyak sekali karya, diantaranya : penemu Teori Permainan (Game
Theory), penemu perilaku rasional, matematikawan yang menjabarkan ekuilibrium
atau kesetimbangan Nash yang merupakan solusi ekonomi yang lebih canggih
daripada metafora Invisible Hand oleh ekonom terkemuka Adam Smith, Nash pula
pernah mengembangkan metode-metode penyelesaian diferensial parsial yang lebih
sempurna.

Bertahun-tahun sudah Nash di Princeton, tapi
obsesinya belum juga terealisasikan. Nash mulai kalut, teman-teman dan profesor
pembimbingnya merasa bahwa itu adalah suatu hal yang menyusahkan diri, kenapa
tidak mencari yang mudah saja, toh gelar doktornya masih dapat diraih?
Untunglah Nash yang hampir putus asa itu memiliki teman sekamar yang selalu
membesarkan hatinya. Charles sering mengajak Nash ke bar. Namun siapa sangka di
bar tersebut justru Nash berhasil menemukan solusi untuk teorema yang selama
ini dia cari-cari. Sebuah teorema tentang kesetimbangan yang teruji lebih baik
dari teoremanya ekonom terkemuka Adam Smith. Saya masih teringat bagaimana
ekspresi Nash ketika itu, saya seolah-olah merasakan perasaan Nash saat itu,
mungkin persis ketika saya berhasil menemukan sebuah solusi untuk problem
solving algorithm, atau bahkan Nash jauh lebih bahagia lagi.
Akhirnya Nash lulus dan mendapatkan gelar
doktornya dengan sempurna. Bagi orang sejenius Nash, pastilah banyak institusi
yang mencarinya. Namun dia lebih memilih tawaran menjadi staf pengajar di
universitas cukup terkenal, MIT. Ups lupa, menceritakan satu hal. Tidak ada
gading yang tak retak. Begitu pula Nash, dia tidak suka bersosialisasi, sedikit
sombong sehingga menganggap rendah orang lain. Hal inilah yang membuatnya
kurang disukai oleh teman apalagi mahasiswa-mahasiswanya. Sikapnya sering acuh
tak acuh.
Cerita klimaksnya terjadi ketika dimasa
gemilangnya, Nash mendapat ujian hidup dimana ia terserang sebuah penyakit
Skizofrenia. Penyakit yang menguasai benaknya. Nash sering mengalami halusinasi
yang membuatnya dianggap gila oleh orang lain. Dia ditugasi menjadi agen
pemecah kode rahasia yang dikirimkan Rusia pada majalah dan surat kabar untuk
mencegah terjadinya perang nuklir. Atas tugasnya itulah Nash sering diincar
oleh pasukan musuh. Namun sekali lagi, itu hanya ada dalam benak John Nash.
Bagi Nash hal itu adalah nyata.
Penyakitnya kian lama kian parah, walaupun Nash
sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit jiwa dan menjalani terapi kejut,
Nash belum juga sembuh. Titik baliknya terjadi pada sebuah kejadian dimana Nash
mendorong istri dan anaknya dengan bermaksud menyelamatkan mereka dari
tembakan, Nash akhirnya sadar bahwa ada yang salah dalam pikirannya (mind).
Namun Nash tidak mampu berbuat apa-apa, hidupnya tetap dihantui oleh otoritas
benaknya. Kariernya ambruk, ia hampir dilupakan, bahkan mahasiswanya seringkali
mengolok-olok tingkah lakunya.
Nash pun dengan keras hati, mencoba melawan
halusinasinya. Kadang ia harus bertindak tidak sesuai dengan hati nuraninya,
dan itu dilakukannya semata keinginannya yang kuat untuk sembuh. Mencoba
membedakan kenyataan dan dunia halusinasinya. Setelah perjalanan yang amat
panjang, di sisa-sisa umurnya, akhirnya Nash mendapatkan berbagai keajaiban.
Selain sembuh dari penyakit yang membuatnya tak berdaya itu, Nash juga pada
Desember 1994 dianugerahi hadiah Nobel atas karyanya yang terdahulu.
Karakter kedua : Alicia Bukan Alyssa yach! (Kalau ini mah, entah anak
kesayangannya siapa yach? ^_^). Alicia Larde adalah gadis tercantik di MIT saat
itu. Tidak hanya cantik parasnya, dia pun paling pandai diantara mahasiswi yang
lain. Gadis serba mapan ini, tersihir oleh pesona Nash. Wajar kali yach! Siapa
lagi yang tidak mau sama pria super komplit seperti Nash?
Suatu saat Nash datang ke kelasnya (seperti
biasa) dengan membawa buku sangat tebal. Nash segera menutup jendela-jendela
kelas untuk mengurangi suara bising dari luar, padahal saat itu cuaca sangat
panas. Tentu saja hal ini membuat mahasiswanya kegerahan, sehingga tidak
sedikit yang meminta agar jendela dibuka kembali. Namun Nash seolah tidak
menghiraukannya.
Alicia dengan pembawaan karakter tenang,
kemudian berdiri. Dengan sepatu hak hitamnya yang khas dan menambah feminim
parasnya, berani membuka jendela satu persatu. Nash awalnya merasa kesal, namun
Alicia menunjukkan kepandaiannya dalam berbicara sehingga Nash terdiam lalu
segera melanjutkan kuliahnya, namun sang mahasiswi tak sedikit pun melepaskan
pandangannya hingga duduk memandangi sang dosen pujaannya.
Suatu ketika Alicia masuk ke ruangan Nash,
sambil menyerahkan tugas, Alicia mengajak sang dosen untuk makan malam. Begitu
kaget plus senangnya Nash mendengar hal tersebut. Nash tidak mengira sama
sekali ada mahasiswi yang tertarik kepadanya. Yang lucunya, Nash malah belum
tahu nama Alicia saat diajak makan malam tersebut. Singkat cerita, Nash
akhirnya menikahi Alicia sekitar tahun 1953. Satu pasangan yang serasi. Yang
satu professor yang tampan dan satu lagi fisikawan muda yang cantik.
Apa sih yang diinginkan seorang istri setelah
memiliki suami yang diidam-idamkannya? Tentunya sebuah keluarga yang bahagia,
suami yang terus menyayangi dan melindunginya. Namun semua itu hanya dirasakan
sekejap saja oleh Alicia, semua yang diimpikannya terenggut oleh penyakit yang
menyiksa sang suami, yang menjatuhkan nama baik Nash, dan menelangsakan hidup
mereka. Beruntunglah Nash, sebab selain didampingi oleh wanita tercantik
parasnya, cantik kepandaiannya, juga cantik cinta kasih dan kesabarannya.
Disaat istri-istri yang lain mungkin sudah
meninggalkan suaminya yang ‘gila’, Alicia justru sebaliknya berusaha
menyembuhkan dan memberi semangat kepada sang suami. Alicia harus mengorbankan
segalanya, mulai dari jabatan pekerjaannya yang terhormat, hartanya yang
melimpah, dan menyerahkan sebagian besar waktunya untuk merawat Nash, dan
tentunya (maaf) kebutuhan seksualnya yang terabaikan. Semua itu ia korbankan
demi kesembuhan Nash, demi karier sang genius.
Siapapun yang jeli melihat karakter Alicia ini
pasti akan terenyuh hatinya. Dan itupun diungkapkan oleh Nash disaat acara
ceremonial penerimaan hadiah Nobel. Dengan nada bangga dan menahan tangis haru,
Nash yang berdiri di depan podium mengatakan kepada ribuan ilmuwan-ilmuwan dan
para hadirin bahwa dia dapat sembuh dan tetap hidup, tidak lain adalah karena
perjuangan seorang wanita yang begitu tegar yang sangat berarti baginya, yaitu
Alicia. Spontan Alicia tak dapat menahan linangan air matanya. Akhirnya karier
yang ia korbankan, masa muda yang ia habiskan, tergantikan oleh kesembuhan sang
suami tercinta. Sungguh wanita yang luar biasa.
Walaupun tidak ada efek-efek animasi, efek
kamera, apalagi action-action (bagi yang senang film animasi dan action), tapi
ada beberapa hal yang patut dipuji untuk film produksi Universal Pictures dan
Dream Works ini, diantaranya :
John Forbes Nash Jr. diperankan dengan sangat
baik oleh aktor Australia Russel Crowe. Selain wajah dan perawakan yang cukup
menyerupai John Nash, Russel Crowe dapat memerankan semua adegan-adegan dengan
sempurna, baik ketika dia muda, maupun ketika menjadi seorang yang sudah
lanjut. Ekspresinya top degh! Begitupun peran Alicia Nash yang dibawakan oleh
Jennifer Connelly
Sang sutradara, mampu menghadirkan latar yang
pas, walaupun ada adegan dimana Nash pergi ke bar dan menemukan teori untuk
gelar doktornya disana. Padahal dalam novelnya, tidak diceritakan bahwa di
kampus Princeton ada sebuah bar untuk berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa, yang
ada adalah jamuan teh antar pecinta teori permainan, dan matematikawan lainnya.
Btw untuk latar yang lainnya, sip!
Theme song dan backsound-nya enak juga, apalagi
dapat membangkitkan perasaan haru ketika nada itu mengiringi pengucapan Nash
saat menerima penerimaan hadiah Nobel. Hah, jadi membuat saya sedikit menangis
haru juga.
Terakhir, salut pada team make-upnya yang mampu
mengubah Russel Crowe yang ganteng dan berotot, juga Jennifer Connelly yang
cantik dan kulit kencangnya menjadi bener-bener kelihatan tua dengan kulit yang
tidak lagi elastis.
Walaupun beberapa cerita sedikit terdistorsi,
tapi ini suatu tontonan yang cukup bermanfaat untuk disaksikan. Terutama bagi
mereka yang berkecimpung di dunia psikologi, ekonomi, serta ilmu sains lainnya.
Oh.. ya! Apalagi bagi kaum hawa, kapanlagi menyaksikan film tentang pria
ganteng, gagah, jenius dan kaya serta semua itu benar-benar ada dan terjadi.
0 komentar:
Post a Comment
Aturan :
✔ Gunain bahasa yang jelas ya bro
✔ Usahain komentarnya relevan ama artikel yang di posting
Makasih.